www.novelkaskus.com Disini Saya Kumpulkan Novel Story dan Cerita-cerita dari Kaskus

Sepasang Kaos Kaki Hitam #Part 36

Sepasang Kaos Kaki Hitam #Part 36

















Part 36

Gw sudah berkali-kali ganti posisi tidur. Telungkup, telentang, dan miring ke kiri. Gw nggak berani miring ke kanan coz Meva ada di situ, entah kenapa gw yakin dia belum tidur. Gw bisa merasakan tatapannya meski mata gw terpejam. Ciumannya di kening gw tadi ternyata berefek menghilangkan kantuk yg sempat menyergap.

Dan entah sudah berapa lama saat gw benar-benar terbangun dan duduk di tepi kasur. Sepertinya sudah jam 3 pagi. Di luar hujan sudah mulai turun membuat malam semakin dingin.

"Lo belum tidur Ri?" suara Meva terdengar lembut.

Gw menoleh ke arahnya. Dia menopang kepala dengan satu tangan. Shit! Posenya...

"Engga tau nih mendadak panas," gw sekenanya.

"Kok bisa? Ini kan lagi ujan? Gw malah kedinginan."

"Emh..iya juga sih. Sekarang dingin," jawab gw dengan bodohnya.

"Lo aneh Ri." Meva bangun dan duduk di sebelah gw. "Mau gw bikinin teh anget?"

Gw menggeleng.

"Enggak usah repot-repot deh," kata gw. "Gulanya jangan banyak-banyak ya."

"Yeeey...kirain nggak mau," cibir Meva. "Ya udah gw nyalain dulu dispensernya."

Lalu Meva pun beranjak menyalakan dispenser, menyiapkan gelas kecil, menuangkan beberapa sendok gula ke dalam gelas dan menaruh selembar teh celup di sampingnya.

"Ini kamer kenapa sih gelap gini? Lampunya mati apa emang sengaja pake lilin?" tanya gw.

"Sejak kemaren lampunya mati. Gw belum sempet beli. Lagian biar lebih ngena aja kesan Natal nya."

Gw tersenyum.

"Lo selalu sendiri ya kalo malem Natal?" gw beranikan diri bertanya.

"Yah seenggaknya setelah gw dateng ke Indo."

"Oh...emang lo bukan asli sini ya?"

"Enggak juga. Nyokap gw asli Padang kok. Cuma gw waktu kecil emang sempet tinggal di desa kecil di pinggiran Hampshire selama sekitar 10 tahun."

"Hampshire? Inggris maksudnya?"

Meva mengangguk.

"Iya. Dulu nyokap gw kuliah di London dan akhirnya married sama salahsatu penduduk sana yg akhirnya jadi bokap gw. Setelah balik ke sini gw tinggal sama nenek di Jakarta."

Gw mengangguk.

"Terus? Nyokap lo kemana?"

Meva terdiam dan melamun. Seperti ada sesuatu yg tertahan dalam dirinya. Sesuatu yg enggan dia utarakan. Gw mengerti itu, dan gw mulai memikirkan pengalih pembicaraan.

"Va, itu airnya udah panas kayaknya," gw menunjuk lampu kecil warna hijau yg menyala pada dispenser.

"Oh..sorry," dia segera mencabut kabel dispenser dan menuangkan air ke dalam gelas lalu mengaduknya.

"Sorry Va..gw ngga ada maksud ngingetin lo ke kenangan yg nggak mau lo inget," kata gw saat menerima gelas dari Meva.

"Enggak kok. Gw nggak ngerasa gitu.." gw tau dia berusaha menutupi perasaannya, tapi gw masih bisa ngebaca itu dari raut wajahnya.

"Emh..lo nggak bikin teh juga?"

"Enggak ah, lagi nggak begitu pengen. Minta aja ya dari lo?"

"Boleh. Nih?"

"Nanti aja kalo udah ademan."

Gw aduk-aduk lagi teh panas di gelas biar cepet hangat.

"Taun ini kita sama Va, lebaran kemaren aja gw nggak sempet balik kumpul sama keluarga. Malah elo kan yg nemenin gw? Kita malah maen catur seharian, lo inget?"

Meva tertawa kecil.

"Iya gw inget. Berarti sekarang kita gantian ya?"

Gw mengangguk. Mencoba meminum teh tapi ternyata masih panas. Gw berjengit.

"Panas ya? Sini gw tiupin," Meva mengambil gelas lalu mengaduk dan meniupnya pelan.

"Eh, lilinnya pada mati tuh. Tinggal satu yg nyala," kata gw menunjuk lilin di atas lemari. Nampaknya lilin terakhir juga hampir padam. Cahayanya bergoyang-goyang tertiup angin. "Pantesan daritadi gelap banget."

Meva tersenyum lagi. Aneh banget, nih cewek demen banget senyum ke gw!!

"Dua lilin yg padam itu adalah lilin cinta dan perdamaian," katanya. "Rasanya dua lilin itu udah nggak sanggup lagi memberi terang di hidup gw."

Gw kernyitkan dahi.

"Kan masih ada satu lagi?" kata gw.

"Ya," jawab Meva. "Dengan lilin itu gw masih punya kesempatan menyalakan kembali dua lilin yg sudah mati. Lilin terakhir itu adalah lilin harapan. Gw ingin sekali punya harapan di hidup gw, sekecil apapun itu."

Gw diam sejenak.

"Lo pasti bisa Va. Gw yakin lo mampu berubah dari pion kecil jadi menteri, suatu hari nanti."

"Hmm..." dia tersenyum. "Lo bener-bener seperti lilin terakhir itu Ri. Lo selalu bisa ngasih gw harapan, yg bahkan gw sendiri nggak yakin gw punya itu."

"Semua orang punya harapan kok, termasuk lo Va. Semangat yah! Cepet lulus kuliah terus penuhi semua mimpi lo selama ini!"

Dia menatap gw penuh harap.

"Gw pasti bisa. Lo percaya gw kan Ri?" tanyanya.

Gw mengangguk mantap.

"Gw selalu percaya lo." Gw meyakinkannya.

"Thanks Ri."

Meva menyerahkan gelas teh ke gw. Sekarang teh nya sudah hangat.

"By the way nanti pagi lo berangkat jam berapa?" tanya Meva.

"Jam enam kayaknya. Pesawatnya take off jam sepuluh."

"Ya udah buruan tidur, ntar kesiangan lho. Udah mau jam empat, masih ada waktu buat tidur."

Gw mengangguk.

"Gw duluan tidur yah?" Meva beranjak ke kasur dan segera bersembunyi di balik selimut.

Gw cuma bisa menatapnya dari luar. Ah, Meva...

Asal lo tau, gw bukan cuma percaya sama lo. Lebih dari yg gw ungkapkan, gw selalu yakin lo adalah lilin harapan buat gw.



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by sesuhay, Published at 09.06.00 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar