www.novelkaskus.com Disini Saya Kumpulkan Novel Story dan Cerita-cerita dari Kaskus

Hantu Gaun Merah - Part 4

Hantu Gaun Merah - Part 4

Hantu Gaun Merah - Dari gelagatnya aku tahu bahwa Umar mulai terpengaruh oleh ceritaku tentang kejadian semalam. Tapi sedikit kuhibur dia dengan cerita tentang kepindahan anak baru yang bernama Deden. Kukatakan orangnya lucu, ramah dan bersahabat. Lumayan untuk menambah ramai geng Tse, julukan bagi para penghuni lantai dasar dimana saat itu sedang booming serial Meteor Garden.

"Mar, apa kau berani tidur sendirian malam ini?" tanyaku saat sedang duduk bersandar di daun pintu kamarnya sambil membaca komik.

"Beranilah Put. Sudah kukatakan aku tidak takut dengan cerita hantu." dia menjawab tanpa menatap balik mataku.

"Okelah kalau begitu. Salut benar aku dengan keberanianmu." jawabku singkat.

Tak terasa matahari sudah makin terbenam di ufuk Barat. Biasanya menjelang Maghrib toilet asrama begitu ramai oleh mahasiswa yang berebut ingin mandi. Tapi kali ini suasananya jelas beda, hanya kami berdua saja yang terdengar mengucurkan air shower untuk mandi.

"Mar, nanti kau sholat di mana?" tanyaku dari bilik shower sebelah.

"Aku mau berjamaah saja di lantai 2 bersama mahasiswa lain yang masih ada di asrama." jawab Umar.

"Sama Mar. Kita bareng ya ke sana."

Sehabis mandi dan berganti baju, ketika mendengar kumandang adzan kami segera menuju mushola dan sholat Maghrib berjamaah di sana. Aku memang membiasakan dzikir shalawat nariyah 100 kali sehabis sholat, jadi kadang aku pulang bersama kloter terakhir para makmum yang ada di mushola.
Kulihat Umar sudah tidak ada di barisan belakang, hanya tersisa beberapa mahasiswa yang melanjutkan mengaji. Kutengok sendalnya pun sudah tidak ada. Aku mencoba menghampiri kantin asrama dan ternyata benar dia sedang asyik makan malam di sana.

"Mar. Kau makan malam tidak ajak-ajak aku." sapaku dari kejauhan.

"Maaf-maaf. Aku tadi terburu-buru. Perutku keroncongan setengah mati minta diisi bensin." jawab Umar sambil mengunyah sisa makanan di mulutnya.

Aku menghampiri konter yang masih buka dan memesan nasi, sup dan tempe goreng. Menu sederhana yang terbiasa aku pesan untuk menghemat uang bulanan. Benar seperti yang kuduga, dia sudah selesai makan bersamaan dengan aku menaruh piringku di sebelahnya.

"Wah Mar. Sudah selesai saja makannya. Siapa nanti yang menemaniku makan?" ucapku padanya.

"Tenang kawan. Aku temani kau sampai selesai makanmu."

Dan memang benar dia menepati janjinya itu. Mungkin ia juga takut apabila harus kembali ke kamar seorang diri. Selesai makan malam kami berjalan menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Udara dingin berhembus mengaliri kulitku, membuatku bergidik dan mengingatkanku akan kejadian semalam.

Sesampainya di lorong lantai dasar, Umar langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Katanya ia mau istirahat. Aku pun menuju ke kamarku dan kembali menyibukkan diri dengan membaca beberapa komik yang kupinjam dari Umar.

Sarana hiburan di kamarku bisa dikatakan cukup miris. Tidak ada satupun yang bisa kunikmati selain buku-buku yang kubawa dari kampung halaman atau komik pinjaman dari teman lain kamar. Tidak ada radio apalagi televisi. Sedangkan untuk makan pun aku harus mengikat pinggang berhubung jatah bulananku sangat tipis. Penat juga otakku bergulat melawan sepi.

Sekitar pukul 10 malam, Umar mengetuk-ngetuk pintu kamarku. "Put, kau sudah tidur belum?"

Kubuka pintu dan menyilahkan dia masuk. "Ada apa Mar? Tumben jam segini kau main ke kamarku. Biasanya kau asyik bercengkerama dengan Ervan dan Agus sambil membuat keributan kecil."

"Tadi Isya kau kan yang mengetuk-ngetuk jendela kamarku?" bunyi pertanyaannya yang lebih pantas dikatakan menuduh tanpa bukti.

"Kau gila ya? Mana mungkin aku berputar keliling asrama di malam hari hanya untuk bisa mengetuk jendela kamarmu. Jelas-jelas jendelamu menghadap ke halaman luar asrama. Di luar sana gelap Mar, meski sudah diterangi oleh lampu neon sekalipun. Hanya setan yang nekat melakukan hal sebodoh itu. Dan kau tahu sendiri bahwa asrama kita ini dibangun bersebelahan dengan lahan kuburan tua."

"Jadi benar bukan kau Put? Lantas siapa? Belum lagi pintu kamarku juga diketuk-ketuk orang." lagi-lagi dia bertanya.

"Yang jelas bukan aku." jawabku sambil kulihat pintu kamar yang tertutup dari dalam. Saat ingin kubuka karena merasa pengap, Umar mencegahku.

"Jangan dibuka!" teriaknya.

"Kenapa?"

"Tidak ada apa-apa."

"Oh.. Jadi kau sudah merasakan sendiri ya keganjilan di lantai dasar ini. Katanya kau seorang pemberani." kusindir mengenai ucapannya tadi siang.
"Aku menyusuri jalan setapak berhutan pada siang hari Put. Aku tidak pernah pergi melintas hutan pada malam hari." jawabnya tidak mau kalah.

"Alah, bilang saja kau mulai takut Mar dengan suasana mistis asrama ini."

"Iya-iya. Jadi bolehkah aku tidur di sini malam ini?"

"Maksudmu, aku harus tidur seranjang denganmu begitu? Aku masih normal. Laki-laki normal." aku tertawa.

"Sudahlah, tolong ijinkan aku tidur di kamarmu. Tidak apa-apa aku harus tidur di atas lantai beralaskan sajadah. Yang penting malam ini aku tidak tidur seorang diri." pintanya setengah memaksa.

"Hmm.. Okelah Mar. Malam ini kau boleh tidur di sini. Tidur saja di kasur, jangan di lantai daripada masuk angin. Tapi awas saja sampai macam-macam."

"Iya aku janji tidak macam-macam. Begini-begini banyak perempuan cantik yang naksir padaku. Termasuk si Vivi perempuan yang cantiknya nomor satu di asrama ini."

"Mulai deh..." sahutku sambil menepuk jidat.

Setelah beberapa lama mengobrol akhirnya kami mengantuk dan tertidur. Entah pukul berapa pastinya, aku tiba-tiba terbangun saat Umar mengguncang-guncang tubuhku dengan kuat.

"Put, bangun Put!" ucapnya sambil terus mengguncang tubuhku.

"Ada apa sih Mar, malam-malam begini membangunkanku? Habis lihat setan kau ya?"

"Kau dengar tidak bunyi orang mengetuk-ngetuk dari kamar sebelah?"

"Tidak Mar. Dari tadi aku sudah tidur dan aku tidak mendengar apa-apa."

"Sumpah aku mendengar suara orang mengetuk tembok dari kamar sebelah. Bukankah kamar itu kamar kosong?"

"Mungkin Deden sudah menempati kamar itu dan sekarang sedang berbenah barang-barang bawaannya." jawabku tanpa pikir panjang. "Sudah Mar. Aku masih mengantuk."

"Aku sudah memeriksa lorong, tidak ada sendal siapapun di depan kamar itu. Lagipula ini pukul 1 malam." dia nampak ketakutan.

"Mungkin sendalnya dimasukkan kamar."

"Kau tidak percaya padaku kan? Kalau memang berani ayo kita buktikan apakah ini ulah mahasiswa jail ataukah benar..."

Belum sampai dia menyelesaikan kalimatnya, aku menyela. "Ya sudah-ya sudah, ayo temani aku ke toilet. Sekalian kita cek sama-sama apakah ada sesuatu yang aneh."

Kubuka pintu kamar dan Umar berjalan di belakangku menuju toilet.

"Kau lihat sendiri kan, tidak ada apa-apa di sini. Semua bilik kosong tak berpenghuni. Itu semua cuma halusinasimu saja kawan. Kau tunggu di sini, aku mau buang air kecil dulu." ujarku lantas menuju salah satu WC. Meninggalkan Umar yang berdiri di dekat wastafel seorang diri.

Kudengar ada suara orang menyiram air di bilik WC sebelahku. "Mar, kau juga buang air ya?" tanyaku padanya namun tidak dijawab.

Selesai menyiram WC, aku keluar dari bilik dan mendapati pintu bilik WC sebelah dalam kondisi tertutup. "Mar, kau masih lama tidak? Jika masih lama aku tinggal dulu ke kamar."

Tak ada jawaban. Tak ada suara air yang menyiram WC ataupun kucuran air shower seperti kemarin malam. Benar-benar seperti tidak ada seorangpun di toilet.

Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan toilet meski aku tidak yakin meninggalkan Umar seorang diri di sana adalah keputusan yang baik sebagai sebagai seorang teman. "Aku duluan ya. Pintu kamar tidak kukunci."

Sesampainya di lorong kamarku, kulihat sendal Umar ada di depan pintu kamarnya. Karena penasaran, kuketuk saja daun pintunya. "Mar, kau di dalam ya?"

Kesekian kalinya tidak ada jawaban dari Umar. Nah justru dia kan yang tidak setia kawan. Meninggalkanku sendirian dan langsung tidur di kamarnya seorang diri - pikirku saat itu.

Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka dan Umar menyuruhku agar segera masuk ke dalam.

"Ada apa Mar? Kau sampai panik begitu." tanyaku melihat mimik wajahnya yang pucat pasi.

"Tadi saat kau sedang berada di WC, aku mencuci mukaku di depan wastafel. Namun dari kaca wastafel, aku melihat sosok orang yang badannya cukup besar masuk ke dalam bilik WC di sebelah bilik yang kau tempati."

"Lantas apa salah jika orang itu menempati bilik WC yang kosong di sebelahku? tadi kupikir malah kau yang sedang buang hajat di dalam sana." tanyaku heran.

"Bukan itu masalahnya. Sudah kukatakan di awal bahwa aku berada di depan wastafel, dan kau tahu sendiri harusnya aku tahu jika ada orang yang lewat di belakangku. Ini... Aku sama sekali tidak tahu ada mahasiswa sebesar itu yang melewati punggungku. Minimal aku bisa melihat bayangannya di cermin atas wastafel. Ketika pintu itu maulai tertutup dan ada suara orang menyiram WC, aku langsung berlari ke kamarku."

Bulu kudukku mulai berdiri. "Jadi siapa ya yang kupanggil Mar sedari tadi?"

"Kamu juga mendengar ada orang di bilik sebelahmu itu Put?"

"Iya. Aku juga mendengar ada orang menyiram WC tapi ketika kupanggil dia 'Mar', dia tidak menyahut."

Belum sampai selesai aku mencoba menjelaskan kronologis kejadiannya, tiba-tiba daun pintu kamar Umar diketuk dari luar. Seolah terhipnotis, aku nekat membuka pintu kamar Umar untuk melihat siapa yang mengetuk pintu di tengah malam seperti ini.

"Jangan Put! Kita di dalam saja." cegah Umar.

Terlambat. Kuncian sudah terbuka dan pintu sudah menganga. Kulongokkan setengah badanku keluar kamar. Diam-diam Umar juga melongokkan kepalanya.

Aku melihat seorang yang berambut panjang hitam sepinggang, bergaun merah tipis mirip bahan sutra. Langkahnya mengambang bak melayang di atas air. Dia berbelok di ujung lorong tanpa kami bisa melihat seperti apa wajahnya.

Ini lantai dasar asrama laki-laki. Tidak seorang perempuan pun boleh masuk ke sini kecuali atas ijin kepala asrama, itupun harus didampingi oleh pegawai asrama. Lalu siapakah sosok yang kami lihat saat itu.

Umar berteriak cukup kencang dan membuatku kaget setengah mati. Spontan aku berlari menuju kamarku yang tidak terkunci. Melihat aku berlari keluar, Umar pun membanting pintu kamarnya cukup kencang lalu menguncinya dari dalam.

Segera kukunci pintu kamarku lalu meringkuk di atas kasur. Masih bisa kudengar suara ketukan di pintu kamar, entah pintu kamar yang mana, tak lagi kupedulikan. Seperti malam sebelumnya, aku hanya bisa menutup kedua telingaku dengan tangan sambil menyelimuti seluruh tubuhku. Berharap adzan subuh segera berkumandang yang artinya aku dan umar bisa segera pergi menyingkir dari situasi mencekam tengah malam ini.

Hantu gaun merah benar-benar ada.
---------------------Bersambung-----------------------
[ Sebelumnya - Selanjutnya - List Episode]
Jangan lupa baca dari awal agar memahami isi cerita.. *************************************************************



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by sesuhay, Published at 05.19.00 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar