www.novelkaskus.com Disini Saya Kumpulkan Novel Story dan Cerita-cerita dari Kaskus

Sepasang Kaos Kaki Hitam #Part 42

Sepasang Kaos Kaki Hitam #Part 42



















Part 42

 

"Maafin gw," kata Meva. Dia melepaskan pelukannya dan usapi airmata di kedua pipinya.

Di luar hujan masih bergemericik. Tapi udah nggak sedingin tadi.

"Lo kenapa sih mendadak mellow?" tanya gw.

Meva menggeleng. Dia tertawa kecil untuk menghibur dirinya sendiri.

"Udah dua hari ini gw mimpi buruk," ujarnya pelan.

"Mimpi buruk apa?" selidik gw.

"Cukup buruk. Buruk banget malah.........."

"Mimpi apa sih?" gw penasaran.

"Tapi lo jangan marah ya?"

Gw mengangguk.

"Gw........mimpi lo meninggal, Ri."

Sejenak kami sama-sama terdiam.

"Terus?" kata gw lagi. Datar.

"Kok nanya 'terus'? Lo nggak sedih ya ada yg mimpiin lo mati?" Meva protes.

Gw tersenyum lalu berkata.

"Kenapa mesti sedih? Itu kan cuma mimpi? Lagian, semua orang pasti akan mati kok. Nggak usah dipermasalahkan lah," saat mengatakan ini bayangan Echi berkelebat di benak gw.

"Iya loe mah enak, tinggal mati, udah! Nah yg sedihnya kan yg ditinggalin!"

Gw tertawa pelan. Kenapa sih mesti ngebahas kayak ginian?

"Udahlah, mimpi itu cuma bunganya tidur Va.." kata gw. "Nggak perlu dipermasalahkan."

"Kenapa?"

Gw diam.

"Kenapa? Kenapa lo nggak bisa ngerasain takutnya gw kehilangan loe.....?"

Gw terhenyak. Meva lagi ngomong apa sih?

"Jangan ngomongin itu sekarang boleh ya? Gw jadi parno nih kalo udah ngebahas soal mati."

Meva menarik napas berat.

"Lo pernah nggak ditinggal orang yg paling lo sayang?" tanya Meva lagi.

Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

"Maksudnya..ditinggal mati?" gw memastikan.

Meva mengangguk.

"Pernah," jujur aja berat sekali buat gw ngebahas ini. "Cewek gw. Dia meninggal hampir setahun yg lalu."

"Siapa namanya?"

"Penting ya?"

"Gw cuma mau tau."

"Echi."

"Oooh..." Meva mengangguk pelan. "Terus gimana, apa lo udah relain dia pergi?"

"Yaah...gimana yak, rela nggak rela, masalahnya dia nggak akan kembali lagi kan? Jadi ya udah deh ikhlasin aja."

"Jadi lo nggak terlalu kehilangan ya?"

"Bukannya gitu. Jelas gw kehilangan lah! Cuma kan namanya orang hidup harus move on..nggak boleh terlalu larut sama yg namanya kesedihan. Yah gw bisa ngomong gini juga karna gw udah ngerasain gimana sakitnya kehilangan."

Kami diam lagi.

"Seandainya, ini seandainya loh! Seandainya gw mati duluan, lo bakal kehilangan gw nggak Ri?"

"Ah, napa sih loe hari ini nanya yg aneh-aneh?"

"Udah jawab aja laah.."

"Emh, gimana yak? Buat ngebayanginnya aja udah sakit banget, apalagi kalo sampe kejadian.."

Meva tersenyum.

"Gini Ri, misalnya gw adalah cewek lo," katanya. "Terus gw mati. Nah, lo bakal mati juga demi gw nggak?"

Gak perlu waktu lama buat gw jawab.

"Masih banyak cewek yg seksi, bahenol dan cantik. Ngapain susah-susah mati buat lo?" kata gw ngasal.

"Aaah! Loe itu!! Gw udah seiya-iya nangisin loe, malah kayak gitu reaksi loe! Mengecewakan!" Meva ngambek. Wajahnya berubah cemberut. Sementara gw di depannya cuma cengar-cengir geli. "Awas aja, kalo nanti loe duluan yg mati, gw juga nggak akan nangisin loe!"

Gw tertawa lebar.

"Udah ah, serius, gw nggak suka ngomongin soal mati. Biarin aja ngalir apa adanya, nggak usah terlalu dipikirin, tapi juga ya jangan sampe dilupain sih."

Meva mendelik masih dengan ekspresi marah yg dibuat-buat. Justru gw malah pengen ketawa liatnya.

"Nyesel gw nanyain loe," gerutunya.

"Haha.. Iya, maaf. Abisnya lo gitu sih.."

"Gitu gimana???"

"Ya itu tadi. Masih muda juga udah ngomongin soal mati."

"Lah, emang apa salahnya? Usia muda nggak menjamin seseorang punya durasi umur yg lebih lama kan?? Banyak ah, contohnya yg mati di usia muda."

"Iyaa gw tau itu. Yg nikah di usia muda juga banyak kan?"

"Ah, loe beneran nggak bisa diajak serius!!" Meva mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw sambil ngomel nggak jelas. Gw cuma bisa meringkuk di balik tangan gw.

"Gw benci sama loe!" kata Meva lalu membanting bantal ke kasur. Dia masih cemberut.

"Yah marah nih..." canda gw. Gw yakin tadi dia nggak serius bilang gitu. "Beneran benci?"

"Marah!"

"Yakin?"

"Kesel!"

"Oiya??"

"Iya, iya. Gw sebel," Meva menurunkan taraf kemarahannya.

Gw senyum-senyum geli melihat kelakuan Meva sore ini.

"Sini deh Va," gw menarik tangannya mendekat.

".............................."

Ini kedua kalinya gw memeluk Meva. Masih sama seperti tadi, gw bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

"Dengerin gw ya Va," bisik gw di telinganya. "Gw emang nggak tau apa-apa soal surga. Tapi satu hal yg gw yakin....enggak pernah ada airmata di surga. Surga itu tempatnya semua kebahagiaan berujung. Ketenangan, kedamaian dan kenyamanan."

"Lo yakin Ri?"

"Yakin banget," gw peluk dia makin erat. "Saat kita udah dapetin semua ketenangan, kebahagiaan, kedamaian dan kenyamanan dalam hidup kita..saat itulah kita ada dalam surga buat diri kita."

Ah, ngomong apa sih gw?

"Thanks ya Ri," bisik Meva.

Dan sore itu sebenarnya kami sama-sama saling menunjukkan ketakutan dalam diri kami. Sebuah ketakutan yg nyata. Takut bahwa salahsatu dari kami akan meninggalkan yg lain. Takut kehilangan. Dan saat itulah gw sadar, ternyata kami saling menyayangi............



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by sesuhay, Published at 09.18.00 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar